METRO,TANAHKARO | Terletak strategis di daerah Tongging Kabupaten Tanah Karo, Taman Simalem Resort adalah tempat yang luar biasa untuk menelusuri kota yang aktif ini. Letaknya hanya 119.1 km dari kehebohan pusat kota.
Taman Simalem Resort ini juga memiliki lokasi yang bagus dan menyediakan akses ke obyek wisata terbesar di kota ini. Dengan lokasinya yang strategis, lokasi wisata ini menawarkan akses mudah ke destinasi yang wajib dikunjungi di kota ini.
Sejauh mata memandang, terpampang pulau Gajah Bobok. Persis betul membentuk posisi gajah sedang tidur. Udaranya segar tentunya akan membuat Anda berdetak kagum.
Namun sayangnya, dibalik keindahan itu terdapat beberapa konflik. Bahkan, selama 13 tahun, persoalan Taman Simalem Resort tak kunjung menemui titik terang.
Kabar yang didapat, beberapa vila yang ada di Taman Simalem Resort merupakan milik seseorang berduit dari berbagai daerah (luar kota).
Terlihat pembangunan vila-vilanya masih dalam proses dirampungkan. Berbentuk seperti kerucut, ala rumah tradisional. Terbuat dari kayu dan beratap fiber dengan warna catnya seragam, coklat.
Disekitar kawasan itu, masih ada lahan seluas 55.625 meter persegi yang tak kalah takjub indahnya. Masih di Desa Pangambatan, Kecamatan Merek, Tanah Karo.
Lahan 5,6 hektar itu masih mangkrak. Tak bisa disulap menjadi destinasi wisata. Seperti tak bertuan.
Panjangnya konflik kepemilikan penyebab lahan tak bisa dipermak. 13 tahun bersinggungan hukum. Tak kunjung selesai.
Pada 2008 silam, Golden Andy Poetra Munthe dan kerabatnya, Aceh Silalahi, bersepakat. Lahan dibeli Rp1,68 miliar lebih dari Golden ke Aceh.
Saat dibeli, surat tanah dipecah tiga. Masing-masing lahan seluas 18.068 m2, 17.691 m2 dan 19.867 m2. Maka pada 26 Maret 2008 itu, akta perjanjian jual beli antara Aceh dan Munthe pun diterbitkan.
Di hari itu juga, akta kuasa menjual di hadapan notaris Riahnita SH dibuat antara Aceh Silalahi dan Yetty Atiany Saragih kepada Golden Munthe.
Pada 5 Juni 2008, Munthe membayar panjar Rp400 juta. Berselang 2 bulan, persisnya 23 Agustus, panjar Rp100 juta kembali digelontorkan.
Pada 10 Agustus 2011, Munthe dan Aceh, membuat perjanjian lagi. Disepakati untuk memberi panjar lagi sebesar Rp700 juta.
Kesepakatan cek bersih sertifikat ke Kantor BPN Karo, pun dilakukan. Dari situlah diketahui, adanya nota dinas nomor 400.244 tanggal 19 Maret 2008. Nota dinas itu menindaklanjuti SK Menhut nomor 44/2005. Isinya agar melakukan peninjauan ulang terhadap lahan yang terindikasi rawan kawasan kehutanan.
Maka pada 8 Agustus 2012, Munthe mengajukan permohonan ceking lokasi. Dua hari kemudian, petugas dinas kehutanan pun melakukan pemeriksaan lokasi. Ternyata, pada 27 Agustus 2012, dinas kehutanan menyatakan lahan yang dibelinya masuk dalam kawasan hutan lindung.
Pada 11 Juli 2012, PN Kabanjahe mengirim relas panggilan. Di relas perkara perdata bernomor 22/Pdt.G/2012/PN Kbj, Munthe dijadikan tergugat. Sementara penggugatnya adalah Aceh Silalahi, penjual lahan.
Sebelum konflik disidangkan, pada 16 Juli dilakukan mediasi. Keduanya sepakat berdamai. Namun dalam perdamaian yang dibuat itu, Munthe diwajibkan membayar panjar lagi Rp500 juta. “Itupun sudah saya bayarkan. Jadi total yang sudah saya kasih ke Aceh Silalahi mencapai Rp1,2 miliar,”ucap Munthe.
Diperjanjian damai itu juga disebutkan bahwa harga jual lahan menjadi Rp1,791 miliar. Aceh Silalahi juga bersedia mencabut pengaduan di PN Kabanjahe.
Aceh, masih menurut Munthe, dalam klausul perdamaian akan mencabut pemblokiran pengurusan balik nama lahan di BPN. Aceh Silalahi juga diminta mencabut pengaduan gugatan perdata nomor 22/Pdt.G/2012 dari PN Kabanjahe. Demikian pula dengan perjanjian pada 10 Agustus 2011. Sesuai kesepakatan perdamaian, Aceh bersedia mencabutnya.
Perjanjian perdamaian berikutnya, Aceh Silalahi juga diminta membuat surat keterangan yang ditujukan ke Dinas Kehutanan Propinsi Sumut.
Anehnya, pada 4 Juli 2019, Aceh melaporkan Munthe lagi ke Polres Tanah Karo. Warga Desa Pangambatan itu dituduh telah melakukan penipuan dan penggelapan. Namun polisi akhirnya, menerbitkan Surat Ketetapan Nomor S.TAP/66/IX/2019/Reskrim, tentang penghentian penyidikan pada 16 September 2019.
Konflik berlanjut. Pada 6 Mei 2020, Munthe, menerima relas pemberitahuan putusan dari PN Kabanjahe. Isinya Munthe dan kawan-kawan, kembali dijadikan tergugat.
Sontak Munthe gerah. Karena hanya menerima relas pemberitahuan putusan, tanpa relas panggilan. “Ini jelas janggal. Saya hanya dikirimi relas putusan, sementara relas panggilan sebelum adanya putusan, tidak pernah saya terima,”katanya.
Alhasil, Munthe melalui kuasa hukumnya, mengajukan banding ke PN Kabanjahe. Putusan banding pada 16 September 2020, memihaknya. Proses bandingnya dimenangkan dan putusan PN Kabanjahe nomor 109/Pdt.G/2019/PN, dibatalkan.
Senyum sumringah Munthe tak bertahan lama. Pada 7 Januari 2021, dia menerima lagi relas panggilan perkara perdata. “Ini kali ketiga saya digugat di PN Kabanjahe dengan objek dan perkara yang sama,”sebutnya.
Tak cuma dibikin bingung lantaran digugat berulang kali di pengadilan, di Polres Tanah Karo pun, Munthe dipolisikan. Dia dituduh lagi melakukan penipuan dan penggelapan, pada 20 Maret 2021.
“Jelas perkara ini seperti dipaksakan harus ditindaklanjuti. Karena ini kali kedua saya dilaporkan Aceh Silalahi dengan objek dan perkara yang sama. Anehkan?”ucap Munthe. (HM/black)